Search

Dekade Baru

Masih teringat di akhir tahun 2016, Kak Ranti pernah minta didoain supaya bisa dapet jodoh yang... menentramkan.

Dulu aku mikir Kak Ranti jelas bisa dapetin yang jauh lebih baik dari itu, apa nggak mau ditambah doanya?

Hari ini aku baru sadar sesadar-sadarnya, ternyata bukan lelaki yang smart as hell yang aku butuhkan, bukan yang bisa ngomongin semesta ini sampai titik atomnya kenapa begini begitu, bukan juga tentang kenapa analist saham terhebat sekalipun bisa salah cuma karena satu twit bodoh si Trump, ternyata aku lebih butuh lelaki yang punya empati, singkatnya: yang menentramkan hati.

Andaipun dapet yang cerdas parah, ya itu bonus.

2020 aku mau berlepas diri dari perasaan apa pun itu terhadap lawan jenis.
2020 aku mau mempersiapkan diri aku ke quran, kesehatan, karir, dan prestasi.
2020 aku mau "selesai" dulu dengan diri sendiri. Selesai dari trauma, luka, dan insecurity. Sampai aku siap membuka diri sepenuhnya untuk seseorang yang baru.
2020 aku mau lebih jauh mengenal diri sendiri. Karena aku tau di balik menjadi diri sendiri, ada sisi diri yg terbaik. Persembahkan sisi terbaik itu untuk yang terbaik!

Page 365 of 365
Dekade baru, cerita baru
Terima kasih, 1 dekade yang penuh cerita
Izinkan aku menjadi seseorang yang baru
Lebih baik, lebih kuat, lebih penuh kasih

Dear Myself,


Bekasi, 31 Desember 2019
23.37

D.

Pict: dokumentasi pribadi

Saat Menjelang Usia 21

Dinda, sudah hampir 21 tahun lamanya kamu diberi kesempatan oleh Allah untuk menjalani peranmu di muka bumi. Mari sejenak malam ini kamu pikirkan apa saja yang telah kamu lewati. Bukan untuk menunjukkan apa kamu telah melakukan hal yang benar atau salah, tetapi lebih berterima kasih kepada dirimu sendiri.
-
Pertama, aku mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya untuk diriku sendiri.

Terima kasih karena telah berjuang sampai sejauh ini. Terima kasih karena kamu tidak pernah menyerah, meski berbagai masalah yang mendera sampai air mata tak kunjung mereda pada malam-malam yang gulita.

Terima kasih karena telah belajar sesuatu yang amat berharga dari peristiwa yang menyakitkan hati. Yaitu, ketika kamu belajar mencintai dirimu sendiri; kamu belajar bahwa bahagiamu sepenuhnya adalah tanggung jawabmu, bukan orang lain; kamu belajar mengatur ekspektasi pada makhluk lemah bernama manusia, lalu memercayakannya hanya kepada dirimu sendiri dan kepada Allah Penguasa alam raya.

Terima kasih karena kamu mau berusaha memahami bahwa tidak ada keluarga -maupun orang tua- yang benar-benar sempurna. Namun, untuk memiliki keluarga yang harmonis tidak perlu menjadi sempurna.

Terima kasih karena kamu telah melakukan yang terbaik selama kamu menjadi seorang siswa. Kamu belajar dengan tekun bukan semata-mata karena kamu ingin mendapat nilai yang bagus, tapi karena kamu sungguh-sungguh mencintai proses mencari ilmu itu sendiri. Ilmu yang tetap berguna bahkan setelah kamu meninggalkan bangku sekolah. Ilmu yang akan menjagamu, insya Allah dengan kehormatan di dunia dan akhirat.

Terima kasih karena kamu tidak putus asa untuk terus melancarkan hafalanmu sampai hari ini. Tidak putus asa meski masalah keluarga yang mencabik-cabik semua alasanmu untuk tetap berjuang. Setidaknya kamu tahu apa itu makna menghafalkan Al-Qur'an dengan hanya berharap ridha Allah. Harapan di mana Dia berkenan mengampuni dirimu yang penuh dosa dengan wasilah hafalan yang kaupunya.

Terima kasih karena kamu tidak memendam masalahmu sendirian, tapi menceritakannya ke orang yang tepat. Bukan hanya agar lebih dipahami, namun juga berharap agar tidak dihakimi. Dan janjimu agar tidak menjadi “hakim” atas masalah orang lain, melainkan berusaha menumbuhkan empati.

Terima kasih karena kamu mulai belajar menerima bahwa dirimu sebenarnya itu cantik dan manis. Keindahan yang sempurna versi Allah untukmu. Walau tidak ada yang sempurna, kamu mengerti bahwa penerimaanmu yang sempurna atas ketidaksempurnaanmu juga merupakan karunia yang tak ternilai harganya.

Satu pesanku untuk dirimu di masa depan.
Jangan pernah mengkhianati kebaikan-Nya kepadamu. Jangan pedulikan kata-kata orang yang berusaha memengaruhimu untuk menentang perintah-Nya. Dia sudah teramat sangat baik padamu. Ingat, Dia menolongmu menyelesaikan masalah-masalahmu tatkala tidak ada satu manusia pun yang bisa kamu percaya dan dimintai pertolongan. Dia memberimu kemudahan dalam mempelajari dan menghafal ayat-ayat-Nya. Dia memilihmu di antara kebanyakan manusia di akhir zaman ini untuk menjaga risalah-Nya. Dia menempatkanmu di lingkungan yang baik. Seberapa berhasilnya pun kamu merengkuh dunia dan seisinya ini, meski matahari di tangan kananmu dan bulan di tangan kirimu, meski seluruh manusia tunduk dan memujamu, pada akhirnya... kamu akan kembali kepada-Nya dengan mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu.

Maka, perlakukan manusia sebaik mungkin. Jangan pernah menyesal pernah berbuat baik, sebab kebaikanmu pada hakikatnya bukan untuk mereka, tetapi untuk dirimu sendiri,
dan, ada nikmat tambahannya di sisi-Nya.

“Jika kamu berbuat baik, sesungguhnya kamu berbuat baik bagi diri kamu sendiri.” (QS. Al-Israa’: 7)
dan….

للذين أحسنوا الحسنى وزيادة (سورة يونس: 26)

Kemudian, jaga sahabat terbaikmu, Al-Qur'an. Jangan datang sesekali lalu pergi!
Selamat ulang tahun!🎂🎊🎉
Semoga kamu bahagia lahir dan batin, sukses dunia akhirat, dan menjadi pribadi yang baik lagi meninggalkan kebaikan! ❤

Salam hangat,
Dari yang sangat menyayangimu,

Dirimu sendiri,
Dinda Aulia Putri
Di belakang kos aku, bagus kan? :D

Bekasi, 29 Maret 2019
20:50

Ngaji di Kediaman Eyang Habibie dan Ainun

Gue mau cerita pengalaman seru hari ini. Singkat aja ceritanya kok. Tadi abis beberes kosan, saat lagi di mode paling nikmat dari rebahan, temen gue ada yang nawarin: mau ikut nggak khataman di rumah Almarhum Eyang Habibie.

Karena gue ngefans banget sama Eyang, yaudah gue iyain. Pengen ngeliat langsung juga kediaman beliau, walaupun beliau udah nggak ada. Sedihnyaa. Eyang, semoga Allah izinin aku ketemu Eyang di surga. Ya Allah, plis ya?

Oke singkat cerita, sampai di rumah Eyang, kita baca juz masing-masing sesuai yang udah disepakati. Abis itu shalat jamaah, ngaji lagi bareng-bareng, terus dengerin kayak sambutan dari temen-temen Almarhum Eyang.


Oh iya, hari ini malam ke-39 dari kematian Eyang. Kata Mas Ilham, anaknya Eyang, Eyang diambil nyawanya pas ba'da maghrib. Nah, saat itu di rumah Eyang banyaaaak banget yang dateng (tapi kalo dari kampus sih kayaknya malam 39 ini khusus PTIQ-IIQ deh, hehe). Rumahnya kan luas banget ya, yang hadir itu sampe tumpah ke luar pagar rumah beliau. Terus juga, ternyata.... apa sih dibilangnya, tahlilan ya? Nah iya itu. Tahlilan di rumah Eyang berlangsung setiap hari selama 40 hari sejak kematian beliau.

Di situ aku ngebatin.... YA ALLAHH, didoain terus-terusan sama lebih dari 40 orang selama 40 hari plus hari-hari lainnya. Ya Allah, sukses dunia akhirat banget beliau. Dan yang doain juga dari berbagai kalangan, dari orang biasa kayak gue sampe ada ulama-ulama yang bacaan qurannya bagus, suaranya merdu, dan hafalannya juga lancar😭. Ya Allah, aku iri. Iri seiri-irinya orang yang iri.

Detik itu juga, aku bertekad untuk merencanakan kematian impianku.

Karena apa?

Jangan cuma mabok dan insecure sama finplan dkk aja, tapi kalo tiba-tiba mati blas kaget nggak bawa "bekal" apa-apa.

Note:
Sebenarnya pikiranku sangat bercabang saat mau datang ke sana. Aku punya banyak pertanyaan tentang Eyang Ainun. Aku sangat berharap bisa paling nggak ngelihat koleksi buku beliau-beliau di perpustakaan, tapi ternyata kondisi sangat tidak memungkinkan untuk bisa ke sana.

Tapi alhamdulillah, tanpa ke perpustakaannya pun, aku berhasil mendapat apa yang aku cari.

Pas pulang di dekat pintu keluar yang ada foto Eyang Ainun, rasanya aku mau menyapa foto itu dan bilang,
"Eyang, terima kasih. Sekarang aku sudah tau jawabannya," sambil tersenyum.


Cirendeu, 20 Oktober 2019

Dinda

Yang Terpenting dari Al-Quran


"Kak, yang terpenting dari Al-Quran itu DIAMALKAN," kata Bapak siang itu saat mengendarai mobil yang melaju di jalan tol.

Kalimat itu mungkin terkesan biasa. Tapi tidak bagiku, dan bagi orang-orang yang tiap harinya berkutat dengan Al-Qur'an. Aku seketika menghentikan bacaanku. Diam cukup lama. Merasa tertohok tepat di ulu hati adalah hal yang tidak bisa dihindari. 

Rasanya.... berat. Dosa dan alpa yang kerap dilakukan seakan bermetamorfosis menjadi beban berat yang menduduki pundak.

Berapa kali rasanya tiap azan berkumandang tapi telinga seakan tak mendengar, tetap asyik scroll timeline linimasa.
Berapa kali rasanya memberi “keringanan” pada diri sendiri saat di perjalanan untuk menunda waktu shalat.
Berapa kali rasanya lebih sering mengeluh daripada berdoa.
Berapa kali lupa akan dosa menghibahi saudara yang bagai memakan daging bangkai yang menjijikkan.
Berapa kali aku lupa. Atau, pura-pura lupa?

Benar, Pak, yang terpenting dari Al-Qur'an adalah pengamalan. Di mana para sahabat menahan untuk menambah hafalan maupun pemahaman mereka -radhiyallahu 'anhum- tiap 10 ayat, sampai mereka bisa mengamalkan seluruh ayat itu, barulah mereka akan menambah hafalannya.

Kita (mungkin) terlalu bersemangat menuntut ilmu, sampai lupa bahwa ilmu akan menuntut kita jika ia dibiarkan tanpa pengamalan.


Terima kasih untuk renungannya, Pak.

Cirendeu, 22 Maret 2018
23:36

Dinda Aulia Putri

Pict: dokumentasi pribadi

Rasionalitas Omong Kosong

Kenapa gue sekarang jadi terlalu rasional sih?
Gue suka gue yang dulu. Calm down. Biasa aja ngadepin kehidupan, yang memang kejam. Serahin ke Allah. Allah aja udah yang ngatur, gue terima beres.

Kenapa gue sekarang jadi sangat rasional?
Gue takut rantai masa lalu terus membebani gue di kemudian hari. Gue khawatir nggak bisa terlepas dari itu. Jadi, gue takut... sama takdir yang udah Allah gariskan? Toh kalau gue nggak pernah mengalami itu, gue nggak akan pernah jadi gue yang sekarang. Gue yang... entah orang mau menyebutnya apa.

Kenapa gue sekarang jadi makin rasional?
Ketika keuangan keluarga makin nggak karuan, gue ikut-ikutan "cari cara" sejauh yang gue bisa bantu dan gue mau "melindungi" masa depan gue. Gue mau "melindungi" keturunan gue supaya mereka nggak mengalami apa yang gue alami. Mereka hidupnya harus lebih baik daripada gue. Di samping itu, gue sendiri nggak kepikiran sama sekali sama jodoh-jodohan. Jatohnya justru muak dan nggak mau nikah aja. Well, mikirin anak cucu tapi nggak kepikiran bapaknya. Bagian ini agak kurang rasional, tbh.

Gue capek. Rasionalitas cuma omong kosong! Nyatanya gue justru merasa jiwa gue "kosong" mengejar hal-hal yang gue pikir rasional dan wajar gue lakukan.

Lebih tepatnya, gue sekarang cuma jadi sok-sokan rasional.
Sedangkan kebaikan Allah itu nggak rasional. Ngasih 1 dibales 700, gue udah ngerasain. Bahkan lebih dari 700. Terbersit dalam hati, langsung dikabulin. Nangis karena dibikin sakit hati sama orang, si pelaku langsung dibales di depan mata gue! Nggak pake loading. Padahal gue nggak pernah minta si pelaku dapet balesan. Nggak pernah. Bahkan, Mbak Ay manggil gue si Pahit Lidah.

Kalau Allah balik bersikap rasional, nggak akan ada manusia yang selamat. Buat dosa dikit, langsung diazab. Ngelanggar perintah Allah, langsung ngerasain akibatnya. Ngonsumsi makanan minuman haram, langsung dapet penyakit. Ibadah, nggak ada yang diterima. Amburadul banget soalnya, dari segi bacaan dan kekhusyukan.

Itu baru adil dan rasional.

Nyatanya Allah nggak gitu. Kebaikan Allah melampaui keburukan yang diperbuat hamba-hamba-Nya.

Din, jangan lupa beramal shalih, berbuat baik. Jangan berhenti. Meski dunia nggak tahu (dan memang nggak perlu tahu). Kebaikan itu bisa menghapus keburukan-keburukan.

Surga Allah diperuntukkan bagi orang-orang yang berbuat baik, lahir dan batin.

Jangan sampai menyesal.

Din, lo tahu kan apa penyesalan yang paling menyakitkan?
Tatkala lo tahu surga Allah seluas langit dan bumi, tapi lo nggak mendapat tempat sama sekali.


Bekasi, 26 Juni 2019
00:43

Dinda Aulia Putri

Pict: Amrazing

I Wrote A Book(?)

Buku solo pertama gue udah terbit sejak April 2019, tapi sampe bulan Juni ini belum gue promosiin ke siapa-siapa, hehe. Apa sebabnya?

Gue mendadak merasa insecure. Belum pantes buat sharing hal-hal yang gue tulis di buku itu. Merasa belum mengamalkan semuanya, takut nanti dituntut Allah:
"Amat besar kebencian di sisi Allah apabila kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan." (Ash-Shaf: 3)

Gue tau nobody's perfect. Maka nggak perlu jadi sempurna dulu untuk bisa menasihati orang lain, terutama saudara sesama muslim. Sebab kalau nunggu sempurna maka nggak akan ada orang-orang di kolong langit ini yang pantas untuk memberi nasihat. Sedangkan, Allah bilang di surat Al-'Ashr bahwa manusia itu semuanya merugi kecuali mereka yang saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Tapi tetap aja, gue merasa kacau. Gue belum bisa mempromosikan buku itu entah sampai kapan.

Meskipun ada kaidah "sampaikanlah walaupun hanya satu ayat", gue punya prinsip "benar, kalau memang mengerti ayat itu". Masalahnya adalah, meskipun gue kuliah jurusan Tafsir Al-Quran, tapi Quran itu super duper complicated. I cryyy😭

Takut gue masukin ayat Al-Quran di sana, tapi kenyataannya gue nggak benar-benar mengerti ayat itu. Dan, Al-Quran itu nggak boleh dipahami hanya dengan Al-Quran saja. Apalagi cuma modal terjemahan Depag. No no! It's a biggest mistake!

Misalnya, ada something yang menarik yang gue pelajari di semester 2, terus gue masukin dong di buku gue karena niatnya mau berbagi ilmu kan. Eh ternyata di semester 3, materi yang sama itu ada pendalamannya lagi. Terus gue ngerasa bego banget kenapa pas semester 2 gue ngerasa udah paham sama materi itu. I cryyy (99+)

Jangan-jangan nanti di semester selanjutnya, apa yang gue tulis makin nggak ada gunanya, hahaha. Untungnya gue memutuskan untuk nerbitin buku solo pertama ini di penerbit indie, jadinya bisa gue kontrol penjualannya. Jangan masuk toko buku dulu deh, masih absrud isinya.

Doakan semoga aku kuat dan berani. Kuat untuk mengamalkan apa yang aku katakan dan berani untuk membagikannya pada orang lain.

Genks, ini cover buku gue :)

Bekasi, 10 Juni 2019
Love,

Dinda

Istidraj Saat Menghafal Al-Qur'an(?)


Ada waktu di mana gue ngerasa istidraj saat menghafal Al-Quran. Eh, sebelum ngomongin lebih jauh, istidraj itu apa, sih? Simpelnya, istidraj itu kelihatannya ada nikmat yang Allah kasih ke seseorang, padahal sebenarnya itu adalah azab. Serem, kan?

Itulah yang gue rasain di semester 4 kemarin. Gue ngerasa dikasiiiihh kemudahan banget sama Allah dalam menghafal Al-Quran. Saking mudahnya sampe kayak gue tuh nggak perlu usaha berlebihan kayak temen-temen gue supaya bisa setoran lancar jaya kayak internet ngebut tanpa kaleng-kaleng.

Misal, kalo besoknya mau setoran, gue malemnya tuh nggak buka Quran, malah ngerjain yang lain (atau bahkan gabut!), baru ngafal sekitar 1-1,5 jam sebelum setoran. Dan, gue bisa setoran banyak + lancar. Di satu sisi ada temen gue yang ibadahnya rajin banget, dia udah start ngafal (yang gue tau pas di kampus) dari berjam-jam sebelum gue, dan hari itu dia nggak setoran karena katanya belum lancar. 😊

Gue ngerasa lebih baik dari dia? Sempet sih ngerasa gitu, tapi abis itu gue sadar kalo sebenernya ada yang salah di dalam diri gue.

Ibadah gue cuma sekadarnya, iman naik turun (banyakan turunnya), ghibah jalan teross. Terus, ngafal lancar banget itu sebenernya anugerah atau istidraj? Takut gue. Asli.

Paling parah itu pas gue mau ujian tahfidz menjelang UAS. Gue ngelancarin 6 halaman surat Yusuf cuma butuh waktu kurang dari 15 menit doang. Surat Yusuf, gengs. 🙈

Gue baru sepenuhnya menyadari ada yang salah dalam diri gue di saat Ramadhan 1440 H. Ibadah gue nggak menunjukkan kenaikan, Tjuy! Biasa aja. Niatnya sih gue ngekhatamin Al-Quran sebelum pertengahan Ramadhan dan akhir-akhir Ramadhan mau murajaah aja, tapi belum khatam juga, wkwkwkkwk. Pengen nabok diri bolak-balik ini sebelum nyesel Ramadhan berakhir tanpa perbaikan.

Kalo di bulan penuh ampunan aja gue nggak Allah ampuni, mau kapan lagi?
Kalo di bulan turunnya Al-Quran aja gue nggak khatam Al-Quran, mau kapan lagi?
Kalo di bulan penuh kebaikan aja gue nggak berbuat baik, mau mati bawa apa? Saham? HAHAHAHA.

Tutup aplikasi, banyakin ngaji.

Ya Allah, semoga yang kemarin itu beneran nikmat dan bukan istidraj, dan jangan bikin aku susah menghafal ayat-ayat-Mu. 😭

Note:
Semua yang gue tulis di sini murni sebagai reminder untuk diri gue sendiri.

Jumat, 24 Mei 2019
4:26 AM

Dinda Aulia Putri

Kepala Sekolah


Tepatnya di sore hari pada 29 Desember 2018, aku pergi berkeliling sekitar tempat tinggalku, Planet Bekasi Tercinta. Randomly aku datengin suatu tempat. Di sana aku ketemu sama seorang ibu. Ibu itu ngajak ngobrol aku duluan, sampai akhirnya aku tahu kalau ibu itu dulunya seorang kepala sekolah dari sekolah yang cukup terkenal di kotaku. Yang aku tahu tentang sekolah itu adalah sering banget menang lomba, wkwk.

Sebenarnya aku agak penasaran dengan bagaimana sistem pengajaran di sekolah itu, tapi aku tidak memancing alias aku biarkan ibu itu bercerita sambil kujawab sekenanya.

Gayung pun bersambut. Rasa penasaranku sedikit terjawab. Pasalnya, ibu itu menjadikan pengalaman dan sudut pandang perasaannya sebagai salah satu cara beliau memimpin.

"Sewaktu saya masih jadi guru di sana, ada temen kuliah saya yang jadi kepala sekolahnya. Pernah saya sapa dia, astaga nggak dijawab sama sekali sapaan saya," sambil si ibu mencontohkan gaya temannya yang mendongakkan kepala ke atas dengan wajah berpaling, "sakit hati saya, Dek. Dari pengalaman itu, saya nggak pernah melakukan hal yang sama ke guru-guru saat saya jadi kepala sekolah. Bahkan saya berusaha buat menyapa dan menjabat tangan guru-guru lebih dulu sebelum mereka berbuat itu ke saya."

"Posisi diangkat sedikit aja, hati manusia bisa langsung berubah ya, Bu." Aku berusaha meresponnya.

"Yang paling saya ingat selama pengalaman jadi kepala sekolah itu, saya nggak pernah menegur guru-guru di depan banyak orang kalau mereka berbuat kesalahan, saya selalu ajak ngobrol di kantor saya. Saya lakukan pendekatan aja ke mereka. Karena nggak enak banget kan, Dek, kalau dinasihati di depan umum gitu?"

Deg. Aku langsung keinget temanku yang matanya bengkak abis nangis karena sakit hati setelah ditegur di depan orang-orang.

Sebenarnya banyak lagi yang ibu itu ceritakan. Tapi aku mau mengambil pelajaran dari dua hal saja: Pertama, untuk jangan pernah memperlakukan orang lain dengan sesuatu yang kita sendiri pun nggak suka kalau diperlakukan seperti itu; Kedua, adab dalam menasihati saudara. Sebab nasihat di tengah khalayak lebih terasa sebagai hinaan.

Untuk poin kedua, pernah bersyair Imam Asy-Syafi’i, “Nasihati aku kala sunyi dan sendiri; jangan di kala ramai dan banyak saksi. Sebab nasihat di tengah khalayak terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak, maka maafkan jika aku berontak.”

Juga kata Ustadz Salim, “Tiap orang punya caranya sendiri untuk menyampaikan nasihat. Permata pun bisa dilempar, diulurkan, atau diselip ke saku.” Maka bagaimanapun caranya, ambillah permata itu.

Setiap orang punya sisi kelam, punya aib, pernah berbuat kesalahan. "Kesanggupan menutup aib saudara dipadu keterampilan menasihati dan ketulusan doa adalah daya agung ukhuwah yg kian langka." Semoga kita selalu belajar menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia lain.


Dinda Aulia Putri