Search

Ketulusan Muhammad


“Setelah itu, aku menghentikan tanyaku…” ujar Amr bin Al-Ash.

Saat mengingat Perang Shiffin, sosok Amr bin Al-Ash yang paling kuingat. Betapa tidak, arbitrase dengan mengangkat mushaf Al-Quran yang dilakukannya telah menorehkan sejarah panjang bagi umat Islam. Tapi, aku tidak suka membahas perpecahan kaum muslimin pada saat itu. Izinkan aku kembali ke titik di mana Amr bin Al-Ash baru saja disapa hidayah Islam.

Ketika itu, setelah hari Hudaibiyah yang menegangkan, Amr bersama Khalid ibn Walid dan ‘Utsman ibn Thalhah menuju Madinah menyatakan keislaman. Rasulullah ﷺ menyambut mereka dengan penuh ketulusan dan dilayani sedemikian rupa, seakan beliau ﷺ baru saja didatangi saudaranya yang sangat dirindukan.

Hari itu Amr merasa bahwa Sang Nabi pastilah sangat mencintainya. Itu terlihat dari bagaimana sikap dan tutur beliau ﷺ terhadapnya. Itu juga pasti disebabkan bakat lisannya begitu rupa yang kelak bermanfaat bagi dakwah Islam. Akhirnya, Amr beranikan diri bertanya saat kudanya menjajari tunggangan Sang Nabi, “Ya Rasulallah, siapakah yang paling kaucintai?”
“Aisyah.” jawab Sang Nabi sambil tersenyum
“Maksudku, dari kalangan laki-laki.”
“Ayah Aisyah.”
“Lalu siapa lagi?”
“Umar.”
“Lalu siapa lagi?”
“Utsman.” Beliau menjawab sambil terus tersenyum.
“Setelah itu, aku menghentikan tanyaku,” kata Amr, “Aku takut namaku akan disebut paling akhir.”

Cerita ini sebenarnya terinspirasi dari Ust. Salim. Dan, izinkan aku menutup kisah ini dengan pamungkas dari beliau.

Amr tersadar, apalagi sesudah berbincang dengan Khalid dan ‘Utsman, bahwa Muhammad adalah jenis manusia yang membuat tiap-tiap jiwa merasa paling dicinta dan paling berharga. Dan itu bukan basa-basi. Muhammad tak kehilangan kejujuran saat ditanya.

Nabi itu indah dan menakjubkan memang. Tapi yang paling menarik dari dirinya adalah bahwa berada di dekatnya menjadikan setiap orang merasa istimewa, merasa berharga, merasa memesona. Dan itu semua tersaji dalam ketulusan yang utuh.

اللهم صل وسلم وبارك على نبينا وحبيبنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Ya Allah, curahi kami rahmat-Mu agar kelak bersamanya di surga 😭


Tangsel, 1 Desember 2017/13 Rabiul Awal 1439 H

Dinda Aulia Putri

Puncak


Bismillah…

Suatu malam ada teman kampusku menginap di kosanku. Dia suka hiking. Saat itu dia menceritakan bagaimana pengalamannya mencapai puncak. Entah kenapa aku menangkap hal yang berbeda dari kata “puncak” itu.

Saat kita sudah benar-benar berada di puncak, tidak ada pilihan lain setelah itu kecuali turun.
Saat malam sudah terasa semakin pekat, itu tanda paling jelas bahwa fajar telah dekat.
Saat hujan hampir menutupi segala penglihatan, itu artinya akan muncul pelangi di hadapan.
Saat salju telah mencekam semua makhluk bernyawa, itu juga tanda bahwa musim semi akan tiba.

Aku dan perasaanku pada saat itu telah mencapai puncaknya. Dan, aku makin mengerti bahwa benar sekali pernyataan ini,
“Adakalanya perasaan itu mencapai klimaksnya, dan itu tidak selalu berupa penyatuan.”
Di mana air mata sudah tidak bisa lagi menjelaskan rasa sakit, aku tahu bahwa pasrah adalah jalan keluar paling menentramkan. Musuh yang paling sulit untuk ditaklukkan adalah diri sendiri. Bagaimana memanjemen rasa yang ada agar ianya menjadi kebaikan.

Dari perjalanan seorang “shalih” juga aku belajar, bahwa pencapaian tertinggi seorang anak manusia adalah bagaimana ia bisa ridha atas segala ketetapan Allah. Ikhlas menerimanya karena sejatinya segala sesuatunya memang hanya titipan, termasuk perasaan. Dan, bahwa hidup ini hanyalah tentang penerimaan. Tentunya setelah melalui the best steps of ikhtiar.

Itulah kenapa di dalam sebuah hadis tentang fadhilah dzikir dikatakan,
“Tidaklah seorang muslim membaca ‘Radhitu billahi rabba, wa bil Islami diinaa, wa bimuhammadin nabiyya’ saat ia memasuki sore hari sebanyak tiga kali dan di pagi hari tiga kali, kecuali wajib bagi Allah untuk meridhainya pada hari kiamat.” (HR. Ahmad No. 18199)
Wajib bagi Allah untuk meridhainya. Bukankah tujuan utama hidup kita adalah meraih ridha Allah? Kalau Allah sudah ridha; jangankan dunia, surga pun akan dikasih tanpa diminta. Ibarat kalau seseorang udah cinta banget sama kekasihnya, apa sih yang nggak akan diturutin dari kemauan kekasihnya itu? Begitulah Allah.

Yang jadi jawaban besar adalah bahwa tidak semudah itu meraih ridha Allah. Hal itu ada pada amalan hati, bukan sekadar amalan lisan. Betapa mudah mengucapkan kalimat seperti di atas sebanyak tiga kali di tiap pagi dan petang, tapi hati? Apa sudah benar-benar ridha Allah sebagai Rabb? Percaya bahwa Dia Mengatur segala urusan hamba-Nya dan tidak akan menzalimi kita, namun di hati masih terbesit “Ah, betapa tidak adilnya hidup ini.” atau “Kenapa Engkau beri kelebihan itu pada si Fulan, ya Allah, sedang padaku tidak?” dan sejenisnya.

Puncak. Ya, puncak.
Di puncak kepasrahan Hajar yang ditinggalkan sang suami, di tengah gurun pasir tanpa ada tanda-tanda kehidupan, harus lari bolak-balik tujuh kali antara Shafa dan Marwah, lalu Zamzam justru muncul dari bawah telapak kaki bayi Ismail. Begitulah, Allah kirimkan bukti bahwa terkadang hasil itu tidak sesuai dengan apa yang kita perjuangkan. Jangan bersedih, Dia lebih tahu di mana tempat terbaik, kapan saat terbaik, dan bagaimana cara terbaik. Pada puncaknya, tugas kita hanya percaya, bahwa Allah tak pernah aniaya.

Puncak. Ya, puncak.
Tidak kutemukan di mana lagi puncak ketenangan hati, kecuali pada Allah Yang Mahatinggi.


Tangsel, 27 November 2017
12:34

Dinda Aulia Putri

Senin Bersama Zaid


Bismillah…

Pembicaraan dosen kami Senin kemarin mengenai sahabat penulis wahyu, Zaid bin Tsabit, membuat beberapa teman-temanku baper. Andai ada Zaid jaman now, kata mereka. Pasalnya, Zaid ini menjadi sekretaris utama Rasulullah saw. di antara 40 orang sahabat terkemuka yang lain. Zaid juga memiliki hafalan yang kuat, cerdas, muda, kritis, fasih, lagi amanah. Khalifah Abu Bakar (atas saran dari Umar) memintanya untuk menghimpun Al-Qur’an dalam satu mushaf karena dikhawatirkan Al-Quran akan hilang sebagaimana banyak gugurnya para penghafal Al-Quran di medan perang. Awalnya Zaid menolak dan berkata, “Sungguh memindahkan gunung dari tempatnya lebih mudah bagiku daripada menghimpun Al-Qur’an.” Tapi setelah diyakinkan, akhirnya Zaid mengiyakan. Dan, melihat Quran yang ada di tangan kita sekarang, mari bayangkan pahala seperti apa pahala yang diperoleh Zaid atas jasanya menghimpun Al-Quran menjadi satu mushaf? Sebab Al-Quran akan terus dibaca hingga akhir zaman dan setiap hurufnya sama dengan sepuluh kebaikan. Mari bayangkan saja, biar Allah yang menghitungnya, hehe.

Sebenarnya poin pentingnya bagiku bukan ingin membahas Zaid dan bagaimana perannya dalam perjuangan bersama Rasulullah saw. Bukan di situ. Tapi, wanita seperti apakah yang menjadi istri seorang Zaid bin Tsabit? Bagaimana cara Zaid memilih calon istrinya?

Pernah kubaca cerita tentang Ummu Aiman ra. yang merupakan budak Rasulullah saw. dari Aminah yang sudah dimerdekakan. Dialah perempuan yang selalu merawat, mengasihi, dan mendampingi Nabi saw. di saat banyak orang-orang terkasihnya meninggalkan beliau saw. Pada suatu ketika Nabi saw. di hadapan para sahabatnya berkata, “Siapa di antara kalian yang ingin menikahi perempuan ahli surga? Maka nikahilah Ummu Aiman!”
Tidak lama kemudian ada suara menyahut,
“Saya, Ya Rasulallah!” seru Zaid bin Tsabit. Maka benarlah, Zaid menikahi Ummu Aiman. Dari pernikahan mereka, lahirnya Usamah bin Zaid yang cerdas, pemberani, dan amanah. Usamah sudah ditunjuk menjadi panglima perang oleh Rasulullah pada saat usianya belum genap 20 tahun. Mungkin kita berpikir, semudah itukah arti penikahan bagi seorang Zaid bin Tsabit?

Ya, mungkin memang semudah itu. Sesederhana itu. Ketika dua orang mencintai sesuatu yang sama, maka keduanya akan lebih mudah untuk saling jatuh cinta. Zaid dan Ummu Aiman sama-sama mencintai Allah, maka Allah yang menumbuhkan rasa cinta itu untuk mereka. Dan, bisa jadi ada benarnya perkataan Umar bin Khattab ini,
“Celakalah engkau! Apakah pernikahan hanya dibangun di atas cinta? Lalu di manakah takwa, tanggung jawab dan rasa malu?”


Tangsel, 28 November 2017
19:55

Dinda Aulia Putri